Kamis, 16 Mei 2013

Artikel tentang Relasi Hukum dengan Sosial Budaya dan Ekonomi


Artikel tentang Relasi Hukum dengan
Sosial Budaya dan Ekonomi
Tugas Mata Kuliah Politik Hukum
Dosen Pengampu:
Rima Vien P H, SH, M.H.





Oleh :
DWI YUDIANTO
K 6410020


PROGAM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2013



A.    Relasi antara Politik terhadap Hukum
Dengan membeca sebuah buku dari mantan hakim mahkamanh konstitusi(yang sekarang sudah pensiun) yaitu bapak Mahfud MD. Yaitu tentang politik hukum di Indonesia, beliau berpendapat bahwa ada pengaruh antara politik terhadap hukum yaitu menjelaskan sampai kita menemukan kata intervensi politik atas hukum. Kita tahu bahwa intervensi adalah suatau campurtangan dalam urusan, berarti politik tersebut ikut campurtangan atas hukum yang berlaku di Indonesia ini. Padahal, apapun aspek di Indonesia ini diatur pada hukum yang berlaku. Politik hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, serta mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik berpengaruh pada hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
Jadi bisa dikatakan hukum itu berasal dari suatu hasil perpolitikan dalam rangka untuk mencapai pada titik keadilan rakyat itu sendiri. Seperti disampaikan sebelumnya yaitu hukum adalah sebagai produk politik, yaitu sebagai hukum yang berlaku di Indonesia ini harus disahkan melalui pemerintah tersebut. Jadi dapat dikatakan, bahwa hukum itu tidak mungkin bisa adil(dalam arti tidak memihak siapun), tetapi hukum itu pasti ada sangkut pautnya terhadap dunia perpolitikan saat hukum itu diberlakukan di Indonesia. Seperti sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat Undang-Undang sebagai produk hukum yang pada hakikatnya merupakan adegan kontestasi agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam suatu keputusan politik dan menjadi Undang-Undang tersebut. Undang-Undang yang lahir dari kontestasi tersebut dengan mudah dapat dipandang sebagai produk hukum dari adegan kontestasi politik itu. Itulah yang dimaksud pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik.
Dari kalimat diatas, bila kita kaitkan dengan suatu hukum yang berlaku sekarang ini, yaitu kebanyakan suatu kepentingan itu yang dapat sangat cepat mengubah dari UU yang berlaku atau membuat UU baru tentang suatu kepentingan politik tertentu, dan bahkan terkadang jika suatu kepentingan tersebut dianggap biasa, atau tidak berarti atau mungkin ungkapan paling kasar yaitu tidak ada uangnya, pastilah hukum tersebut tidak akan mengalami suatu pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman di Indonesia. Seperti contohnya jika seperti UU ketenagakerjaan, UU perburuhan, dll, pasti akan cepat berubah jika tidak sesuai dengan kepentingan politik yang berlaku pada saat itu, tetapi jika seperti suatu rancangan pembaharuan kitab undang-undang hukum pidana sudah sejak lama ada tetapi tidak juga kunjung usai atau terlaksana sebagai UU baru yang lebih baik tentunya, karena dirasa mungkin RUU ini kurang berguna buat para elit politik di Indonesia ini.
B.     Relasi Hukum dengan non hukum.
Pengertian dari hukum sendiri yaitu menurut kamus bahasa Indonesia “peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu,  keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dala, pengadilan) vonis.
Dari pengertian tersebut, salah satunya berisi untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. Berarti hukum di Indonesia yang merupakan produk politik tersebut, juga mengatur hajat hidup orang banyak, mempengaruhi keadaan masyarakat itu sendiri, yaitu seperti hukum sebagai suatu kontrol sosial. 
Dalam memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia, maka hukum merupakan salah satu alat pengendali sosial. Alat lain masih ada sebab masih saja diakui keberadaan pranata sosial lainnya (misalnya keyakinan, kesusilaan). Kontrol sosial merupakan aspek normatif kehidupan sosial. Hal itu bahkan dapat dinyatakan sebagai pemberi defenisi tingkah laku yang menyimpang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti berbagai larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi.
Hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang dapat menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sangsi atau tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang harus diterima oleh pelakunya. Ini sekaligus berarti bahwa hukum mengarahkan agar masyarakat berbuat secara benar menurut aturan sehingga ketentraman terwujud.
Bisa juga dapat dipandang hukum itu sebagai social engineering atau rekayasa sosial. Dapat dikatakan seperti ini karena suatu produk hukum tersebut yaitu salah satu cara untuk dapat merekasa masyarakat agar terciptanya suatu keingainan dari elit politik/pemerintahan untuk merekayasa suatu kebaikan bersama. Misalnya tentang progam KB, UU Lalulintas, UU IT, dan lain sebagainya.   
Pendapat dari Rusli Effendi (1991: 81), yang menegaskan bahwa "Suatu masyarakat di manapun di dunia ini, tidak ada yang statis. Masyarakat manapun senantiasa mengalami perubahan, hanya saja ada masyarakat yang perubahannya pesat dan ada pula yang lamban. Di dalam menyesuaikan diri dengan perubahan itulah, fungsi hukum sebagai a tool of engineering, sebagai perekayasa sosial, sebagai alat untuk merubah masyarakat ke suatu tujuan yang diinginkan bersama, sangat berarti". Penegasan Rusli Effendy tersebut di atas, menunjukkan bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial sangat diperlukan dalam proses perubahan masyarakat yang di manapun senantiasa terjadi, apalagi dalam kondisi kemajuan yang menuntut perlunya perubahan-perubahan yang relatif cepat.
Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini, juga sering disebut sebagai a tool of engineering yang pada prinsipnya merupakan fungsi hukum yang dapat diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu dalam suatu masyarakat, baik dalam arti mengokohkan suatu kebiasaan menjadi sesuatu yang lebih diyakini dan lebih ditaati, maupun dalam bentuk perubahan lainnya. Perubahan lainnya dimaksud, antara lain menghilangkan suatu kebiasaan yang memang sudah dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat, maupun dalam membentuk kebiasaan baru yang dianggap lebih sesuai, atau dapat mengarahkan masyarakat ke arah tertentu yang dianggap lebih baik dari sebelumnya.
Sejalan dengan ini, Soleman B. Taneko mengutip pendapat Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa "Hukum sebagai sarana rekayasa sosial, innovasi, sosial engineering, menurut Satjipto Rahardjo, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak perlu lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya".
Keadaan yang demikian itu berbeda sekali dengan pandangan atau konsep hukum yang lain, seperti yang diajarkan oleh aliran sejarah. Dalm hal ini Friedrich Karl Von Savigny,yang juga sering disebut pendiri Aliran pendiri sejarah tersebut, mengatakan bahwa hukum itu merupakan ekspresi dari kesadaran umum atau semangat dari rakyat (Volksgeist). Savigny mempertahankan pendapat, bahwa hukum itu pertama-tama dilahirkan dari keputusan hakim, tetapi bagaimanapun juga diciptakan oleh kekuatan-kekuatan dari dalam yang bekerja secara diam-diam, dan tidak oleh kemauan sendiri dari pembuat Undang-undang. Konsep tersebut memang didukung oleh kenyataan dalam sejarah, yaitu pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana sifatnya. Pada masyarakat –masyarakat seperti itu memang tidak dijumpai peranan dari pembuat Undang-undang seperti pada masyarakat modern sekarang ini.
Peranan dari hukum kebiasaan adalah lebih menonjol. Sorokin menggambarkan pandangan dari masyarakat modern tentang hukum itu dengan cukup tajam, yaitu sebagai: “hukum buatan manusia, yang sering hanya berupa instrumen untuk menundukan dan mengeksploitasi suatu golongan lain”. Tujuannya adalah sepenunhya utilitarian yaitu keselamatan hidup manusia, keamanan harta benda dan pemiliknya, keamanan dan ketertiban, kebahagiaan dan kesejahteraan atau dari masyarakat keseluruhannya, atau dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat.
Norma-normanya bersifat relatif, bisa dirubah dan tergantung pada keadaan. Dalam sistem hukum yang demikian itu, tidak ada yang dianggap suci dan abadi. Berdasarkan pandangan Sorokin ini hukum tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai sarana untuk mengatur ketertiban dan keamanan serta kepastian hukum dalam masyarakat, tetapi lebih jauh bagaimana upaya hukum itu berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang maksimal. Adanya pandangan agar hukum dapat membentuk dan merubah suatu keadaan dalam masyarakat sebenarnya telah lama dikembangkan oleh seorang sarjana yang bernama Rescoe Pound dengan teori yang terkenal “law as a tool of social engineering” . Di indonesia teori ini dikembangkan oleh Muhtar Kusuma Atmadja. Kata ”tool” diartikannya sebagai sarana. Langkah yang diambil dalam sosial engineering bersifat sistematis dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya yaitu :
1.             mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk didalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut.
2.             Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal sosial engineering itu hendak ditrerapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti : tradisional , modern dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih.
3.             Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
4.             Mengikuti jalannnya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
Langkah-langkah ini dapat dijadikan arah bagi menjalankan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial. bagaimana upaya hukum dapat merombak pemikiran, kultur maupun sikap ataupun cara hidup seseorang agar dapat bertindak dan berbuat sesuai tuntutan kehidupan. Bagaimana hukum dapat merubah orang yang selama ini “ tertidur” , setelah ada hukum menjadi “terjaga” . mereka yang selama ini menebangi hutan secara liar setelah adanya hukum mereka tidak lagi berbuat demikian. Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini terlibat dalam fungsinya sebagai independen variabel dimana masyarakat berfungsi sebagai dependent variabel. Masyarakatlah yang dipengaruhi hukum agar ia terbentuk dalam suatu wujud terbangun masyarakat. Jika demikian halnya, maka perlu ada perencanaan tentang bentuk masyarakat yang dikehendaki. Pencapaian kepada bentuk masyarakat yang diinginkan itu diwujudkan melalui arah kebijaksanaan yang ditetapkan melalui peraturan hukum.
1.      Relasi hukum dengan faktor sosial dan budaya
Suatu hukum itu disahkan karena terdapat suatu beberapa hal yang harus dirubah untuk menjadikan suatu kebaikan bersama dalam masyarakat tersebut. Seperti halnya dengan pembuatan suatu UU untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang dinilai tidak etis, atau kurang bermanfaat dan diubah dengan menggunakan aturan baru tersebut beruoa UU melaui rapat parlemen dengan pemerintah.
Sebagai contohnya yaitu Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Yaitu pengaturan tentang pelarangan penjualan minuman keras di tempat umum kecuali di hotel, bar dan tempat hiburan lainnya. Dari contoh diatas misalnya, suatu hubungan antara hukum dan kebudayaan sangatlah berkaitan, karena dalam minuman keras ini digunakan oleh oknum-oknum masyarakat untuk berkebudayaan misalnya seniman untuk melakukan kegiatan seninya tersebut misalnya seperti daerah saya kabupaten Ponorogo yang pada waktu kecil di saat ada pertunjukan reog ponorogo pasti ada yang namanya minuman keras walaupun saya belum mengerti secara jelas karena saya juga masih anak-anak.
Pada tahun sebelum reformasi itu sangat lekat sekali budaya minum arak di waktu pertunjukan kesenian reog ponorogo tersebut, tetapi setelah itu, sekitar tahun 2005 banyak sekali razia-razia miras yang tanpa izin tersebut membuat perbedaan sebagai seniman reog yang tidak selalu meminum minuman keras sebelum melakukan aksinya tersebut. Dan pada waktu saya sma, sejak ada pengeklaiman reog ponorogo oleh negara tetangga, reog menjadi salah satu mata pelajaran wajib bagi murid SMA dan ekstra kulikuler bagi murid SMP. Dengan begitu reog menjadi salah satu kegiatan seni (100% seni) dan tanpa campur tangan minuman-minuman beralkohol untuk beraksi melakukan kesenian tersebut. 
Dengan begitu dari contoh di atas, dapat  dikatakan bahwa suatu hukum itu mempunyai korelasi untuk mengubah suatu pandangan masyarakat/suatu kebiasaan masyarakat dalam bidang seni kususnya dengan mengeluarkan suatu produk hukum yang melarang pelegalan minuman-minuman keras di tempat umum dengan suatu ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal ini dapat mengubah kebiasaan masyarakat untuk menjadi seniman sejati, mengubah pola kebudayaan masyarakat yang salah atau bisa juga dikatakan untuk merekayasa kehidupan masyarakat agar lebih baik dam menjadi baik. Tetapi dari banyak kepentingan, RUU tentang larangan minuman keras belum disahkan menjadi UU, itu adalah pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Contoh berikutnya yaitu dari suatu produk hukum berupa peraturan untuk memakai pakaian batik atau pakaian daerah masing-masing di hari tertentu(anjuran). Yaitu dengan adanya suatu peraturan tersebut, masyarakat di suatu daerah akan merasa memiliki kebudayaan yang telah sejak lama ada di Indonesia ini. Seperti di wilayah solo ada anjuran pegawai negeri di hari tententu memakai pakaian adat bawahan batik atasan jas putih. Dengan begitu, suatu symbol dari kota tersebut akan terlihat, serta menimbulkan kebiasaan yang baik demi mengingat kebudayaan bangsa sendiri dan di pakai sebagai pakaian adat itu sendiri. Seperti di daerah ponorogo, biasanya sebelum bulan muharam/suro, pegawai pemerintahan memakai pakaian penadon, yaitu pakaian daerah ponorogo seperti yang digunakan penari warog tersebut. Hal ini dimaksudkan akan menjadikan suatu rasa cinta produk dalam negeri serta selalu menjalankan kebudayaan yang baik ini demi keberlangsungan suatu kebudayaan ini melalui suatu pakaian daerah tersebut.
Suatu relasi hukum dengan kebudayaan yaitu intinya hukum memiliki pengaruh yang sangat kuat tentang kebuyaan masyarakat umum. Suatu produk hukum akan mempengaruhi suatu kebuayaan dalam masyarkat dan dapat dikatakan hukum sebagai sosial kontrol, bisa juga hukum itu sebagai rekayasa sosial.  
2.      Relasi Hukum dengan Ekonomi
Sub sistem budaya mempunyai kandungan informasi yang  paling tinggi karena kaya akan nilai-nilai. Sedangkan sub-sistem ekonomi memiliki energi yang lebih tinggi karena lebih dekat dengan lingkungan fisik .  Ekonomi merupakan suatu wadah atau bentuk organisasi masyarakat yang memiliki tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat dan meningkatan kesejahteraan masyarakat. Maka tiap individu akan mencari keuntungan personal, maka akan timbul kekacauan yang saling memburu kebutuhannya yang bertabrakan antara satu individu dengan yang lainnya. Maka muncul lah rule of game, yaitu aturan aturan dalam kegiatan ekonomi dan menghindari pergesekan antara lingkungan usaha. Kehidupan ekonomi mensyaratkan adanya tertib social yang di dalamnya terdapat kegiatan ekonomi.  Disisi lain, ekonomi memiliki pengaruh sendiri terhadap hukum. Pengaruh ini dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan untung-rugi yang berpengaruh pada kerja hukum. Karena tidak semua orang patuh terhadap hukum atas dasar hukum memang harus di taati. Masyarakat pun bias mentaati hukum karena tujuan-tujuan lain untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Sebaliknya, jika tidak melihat keuntungan eknomis, maka akan rugi dan tidak mentaati hukum yang ada. 
Saat ini, pembangunan ekonomi di Indonesia tidak lah merata, di karenakan tidak di jiwai aspek kemanusiaan dan aspek yang menyeluruh. Terbukti bahwa hasil postif dari perkembangan yang pesat ini hanya berarti untuk para pelaku ekonomi beskala besar ata di sebut golongan atas. Sedangkan golongan bawah, mereka justru dirugikan karena tidak dapat menikmati hasil-hasil pembangunan ekonomi.  Ada 2 model dalam strategi pembangunan ekonomi, yaitu : a. model ekonomi berencana b. model ekonomi pasar   Model ekonomi berencana, menekankan tujuan dan menyandarkan kekuatan pada hukum, maka akan di lihat sebagai suatu transformasi dari kegiatan ekonomi. Negara sebagai pendukung utama dalam rencana. Di sini hukum sebagai penterjemah tujuan ke bentuk norma-norma dan sebagai acuan yang di cita-citakan. Sedangkan ekonomi pasar tidak digerakkan dari pusat kekuasaan, akan tetaoi ke mekanisme pasar, seperti permintaan dan penawaran.di sini hukum dipandang sebagai ramalan, pandangan, dan jaminan kepastian hukum demi lancarnya suatu usaha. Dan juga sebagai media kreatif bagi pelaku usaha atau sebagai jaminan pelindung agar merasa aman dalam bertransaksi.   
Hubungan antara hukum dan ekonomi sangatlah erat dan bersifat timbal balik. Kedua-duanya saling mempengaruhi bekerjanya satu sama lain. Hukum sebagai pengontrol perkembangan ekonomi dengan peraturannya, sedangkan ekonomi sebagai bekerjanya hukum itu sendiri.  Terakhir, peranan hukum dalam pembangunan ekonomi tergantung pada pola perkembangan ekonomi yang di anut oleh Negara. Antara pembangunan berencana dimana hukum berfungsi sebagai orientasi ekonomi, sedangkan pembangunan ekonomi pasar hukum sebagai lembaga pendukung dan jaminan setiap aktivitas.
Dalam terori  pembangunan ekonomi di kenal beberapa aliran yaitu aliran Klasik yang di anut oleh (Adam Smith, David Ricardo dan Thomas Robert Malthus) penganut paham perdagangan bebas dan penganjur kebijaksanaan “pasar bebas” dalam ekonomi ini menentang campur tangan pemerintah dalam industri dan perniagaan. Menurut para pakar di atas Kekuatan yang tak terlihat yaitu pasar persaingan sempurna yang merupakan mekanisme menuju keseimbangan secara otomatis, cenderung untuk memaksimumkan kesejahteraan nasional.
Selanjutnya menurut teori Schumpeter, sistim kapitalisme adalah sistim yang paling baik untuk menciptakan pembangunan ekonomi. Namun dalam jangka panjang sistem kapitalisme akan mengalami stagnasi.
Dari pendapat di atas, relasi suatu hukum terhadap ekonomi khususnya untuk pertumbuhan ekonomi ssangatlah penting, produk-produk hukum yang disahkan oleh pemerintah haruslah mempunyai tujuan akhir untuk mensejahterakan masyarakat dengan membuat perekonomian di Indonesia ini berkembang dan tumbuh menjadi suatu negara yang besar dan mandiri. Seperti UU ketenagakerjaan, UU lainnya mengenai ekonomi, diharapkan dibuat, disahkan serta diedarkan untuk bisa menumbuhkan perekonomian Indonesia.

Daftar Pustaka                       

Choiruddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika; Jakarta 1991. 
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, cetakan ke 5 PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,2012
Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1984 .
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. 
Soekanto Soejono dan Heri Tjandra, J.S. Roucek, Pengendalian Sosial (seri pengenalan Sosiologi), Rajawali Press, Jakarta. 1987. 
RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar