Kamis, 16 Mei 2013

Makalah Sengketa Tanah dalam Masyarakat


Sengketa Tanah dalam Masyarakat
Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Ilmu Hukum
Dosen Pengampu:
Dsr. Hassan Suryono SH., MH., M.Pd.




Oleh :
DWI YUDIANTO
K 6410020



PROGAM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2013




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum. Semua yang menyangkut kesejahteraan umum sudah diatur dalam undang-undang dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis. Dengan begitu sebuah kepastian hukum untuk seseorang sejahtera hakikatnya telah terjamin oleh konstitusi yang ada di Indonesia.
Hukum di Indonesia tidak bisa berdiri secara netral, pasti ada beberapa kepentingan-kepentingan yang menyangkut didalamnya seperti kepentingan negara. Dengan begitu maka politik untuk hukum bisa dikatakan sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.[1]
Jadi perlunya hukum untuk negara kita yaitu untuk mengatur supaya bisa mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara, untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan suatu kejelasan atau kepastian hukum di dalamnya. Seseorang yang sudah memliki kepastian hukum pasti akan lebih mudah dalam melakukan lalulintas hukum atau kegiatan-kegiatan hukum, misalnya dalam kepemilikan tanah.
Tanah adalah suatu aset negara yang sangat banyak sekali, sumber penghasilan negara juga sebagian besar dari pajak dan salah satu pajak yaitu pajak dari tanah, baik itu pajak bangunan maupun pajak-pajak yang lain misalnya sewa, hak pakai, daln lain sebagainya.
Tanah lama kelamaan pasti akan habis dengan setiap tanah bermilik atau berpenghuni karena semakin banyaknya penduduk Indonesia. Bisa jadi lama-kelamaan tanah kita habis dan semua untuk dimanfaatkan sudah tidak ada lahan yang kosong atau terlantar.
Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan hukum atau kaedah hukum yaitu peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertibdalam masyarakat.[2] Hukum tersebut haruslah berupa hukum yang jelas demi memberi kepastian hukum untuk pemilik-pemilih sah dari tanah-tanah tertentu. Dengan begitu merupakan salah satu cara untuk meminimalisasi konflik-konflik dari masyarakat maupun dari pemerintah yang dilator belakangi oleh sengketa tanah.
B.     Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang akan dibahas untuk kelengkapan suatu tulisan yang dibuat oleh penulis.
1.      Pengertian dari Hukum Agraria,
2.       Pengertian dari sengketa tanah,
3.      Contoh dalam masyarakat secara nyata,
C.     Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah demi mendapatkan suatu ilmu yang berharga untuk pengalaman dari contoh kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Dengan makalah ini lah penulis bisa lebih mengerti akan suatu hal yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini yaitu mengenai sengketa tanah dengan pihak pemerintah atau lembaga negara. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi, maupun langkah hukum yang dilakukan akan dibahas di makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Hukum Agraria
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasa latin agre berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah,[3] dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Hukum agraria secara sempit ialah bidang hukum yang mengatur yang mengatur mengenai hak-hak penguasaan tanah.[4]
Pengertian hukum agraria secara luas adalah sekelompok bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang meliputi;
·         Hukum tanah, yaitu bidang hukum yang mengatur penguasaan atas tanah(permukaan bumi),
·         Hukum air (hukum pengairan), yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas air,
·         Hukum pertambangan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian,
·         Hukum kehutanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan,
·         Hukum perikanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air,
·         Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.[5]

  1. Pengertian sengketa tanah
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan.[6]
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah antara lain :
1.      Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
2.      Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak.
3.      Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar.
4.      Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Namun dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :
1.      Pemilikan/Penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;
2.      Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian;
3.      Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4.      Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat);
5.      Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.[7]
Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Secara makro sumber konflik besifat struktural misalnya beragam kesenjangan. Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan tanah dikelompokkan yaitu :
1.      Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
2.      Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
3.      Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
4.      Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
5.      Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.[8]
Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang disengketakan oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan.
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat bertani, lalu lintas, perjajian, dan pada akhirnya tempat manusia dikubur. Akan tetapi, selama kurun waktu 52 tahun usia Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya. Konflik pertanahan ini ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti untuk pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun pariwisata juga terus bertambah, sedangkan ketersediaan tanah itu tidak bertambah atau lebih tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan konflik-konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal sering terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Maka dari itu, untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah yang bersifat tetap, maka pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dari penggunaan tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan berbagai bentuk peraturan pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk kepentingan perorangan dan Badan Hukum atas tanah-tanah Negara dan/atau atas tanah-tanah hak.
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah. Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas.
Munculnya berbagai konflik atau sengketa pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain, atau bahkan tidak jarang berbau politis. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral. Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif.
Sebagai contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa tanah itu misalnya sengketa tanah oleh lembaga negara dengan masyarakat, misalnya antara TNI dan masyarakat. Dengan memiliki bekal bahwa TNI adalah ijin latihan dan menganggap tanah itu tanah negara dan mereka juga menjalankan tugas negara maka mereka sangat kuat untuk mengambil tanah itu tetapi dari masyarakat juga dikuatkan dari faktor sejarah yang dari turun-temurun keluarganya sudah memakai tanah tersebut.

  1. Contoh dalam masyarakat tentang sengketa tanah yang terjadi
Yang pertaman yaitu konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam 13 tahun terakhir sejak reformasi bergulir, cukup banyak yang melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya terhadap lahan di Desa Harjokuncaran, Kecamatan  Sumber Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di media sampai saat ini belum mencapai titik penyelesaian. Warga mengklaim lahan tersebut milik warga setempat, sementara  TNI menyatakan milik negara. Akibat peristiwa tersebut, sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5 personel TNI AD mengalami luka di kepala.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan seluas sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum.  Menurut Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyekland reform dengan verponding  (tanda hak milik zaman Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Departemen Pertahanan yang bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan negara dalam melaksanakan tugasnya TNI memerlukan sumber daya alam. Yang dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah merupakan unsur yang digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi perkantoran, tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung dalam pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas tanah. Pihak masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai salah satu hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan satu sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada pelaksanaannya masih terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang mengakibatkan munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Untuk menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI terlebih dahulu dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang digunakannya.[9]
Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu antara TNI Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dengan bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah seluas 30,2 hektar yang berada di sekitar tanah milik Lanud Iskandar Pangkalanbun.
Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati ujang diangkat dan setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan dibangun sebuah kompleks pertokoan, tetapi ternyata sudah ada yang memiliki lebih dahulu yaitu TNI dengan akta tanah tahun 1980an serta terdapat beberapa patok tanah yang masih menancap milik Lanud. Karena keadaan lokasi yang semi hutan, di Kalimantan itu kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam liar yang tidak ada yang mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa menjadi seperti tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan mendapat nomor pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat secara langsung di lokasi yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah ini yaitu tentang pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak serta merta mengecek lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan kelalaian tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka fihak-fihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang ada diatas tanahnya.[10]  
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar yaitu melalui notaris didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat tetapi pegawai pembuat akta tanah tersebut kurang cermat dalam pembuatan serta tidak teliti dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada yang punya atau belum, begitu juga pihak lanud yang tidak serta merta dengan merawat tanah tersebut dan alasannya yaitu mereka memiliki tanah yang sangat luas dan belum mampu untuk selalu merawat tanahnya. Tetapi sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi para prajurit TNI AU yang bertugas.
Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan digunakan sebagai lahan untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan tugas negara sudah ada kewajiban untuk menggunakannya karena merupakan amanah dari negara untuk memperkuat kesatuan wilayah Indonesia. Akirnya pihak dari TNI menggugat di pengadilan untuk memperkarakan secara hukum sengketa tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
·         Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
·         Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
·         TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak atas tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah ditentukan yang dibebankan atas benda orang lain, untuk “dengan memelihara bentuk dan sifatnya serta selaras dengan maksudnya“ memakai sendiri benda itu dan mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat keperluan sendiri.[11]
Pembuat Undang-undang Pokok Agraria member kesempatan bagi setiap orang yang memegang Hak Milik Adat di seluruh Indonesia untuk mendaftarkan haknya dan akan memperoleh sertifikat Hak Milik melalui prosedur konversi Hak Adat(peraturan Menteri Pertanian dan Agraria).[12]
Jadi walaupun itu berdasarkan tanah adat maupun turun temurun dari nenek moyang, tetap harus berdasarkan hukum yang berlaku, karena Indonesia ini adalah negara hukum dan lebih kuat juga bila ada bukti hukum yang pasti seperti surat tanah atau akta tanah tersebut. Sangatlah penting tentang surat tanah yang salah satu manfaatnya yaitu untuk kepastian hukum.







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap permasalahan pertanahan kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta siapa subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum yang berbeda-beda pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Namun sebagai Warga Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap keputusan Pengadilan Negeri dalam setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan TNI, sudah seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila sengketa tersebut yang melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen utama dalam pertahanan negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan hakim. Hal ini bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak merugikan para pihak yang bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga dengan kasus diatas yang merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi hukum itu milik negara dan haruslah kembali pada negara dengan berlandaskan untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.

B.     Saran
Dari kasus-kasus yang telah di kemukakan di atas, maka dapat disarankan bahwa semua hukum yang ada pada negara ini, telah dimasuki kepentingan negara dalam rangka mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. Jadi hukum tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara Indonesia yang sudah tertera pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Salah satunya yaitu mensejahterakan rakyat.
Menjadi warga negara yang baik harus tahu akan hukum serta tidak hanya tahu, juga haruslah melaksanakan hukum tersebut. Untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik (good citizen),  maka harus taat dan mengerti akan hukum. Hal itulah yang ditujukan untuk penulisan makalah ini tentang penanaman kesadaran hukum haruslah ditingkatkan di Indonesia agar tidak terjadi konflik-konflik dari yang ditimbulkan oleh penyelewengan hukum, atau pelanggaran hukum.










DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Þ    Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009
Þ    H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004
Þ    Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan, 2005
Þ    C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Þ    Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Þ    Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Þ    Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Þ    Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Þ    Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Þ    Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005

Koran dan Web:
Þ    Kontributor malang, Yatimul Ainun, Warga dan TNI ngotot tempuh jalur hukum, KOMPAS.com, 6 Juli 2012



[1] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012, hal. 2
[2] C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1986 hal. 34
[3] Boedi Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan,2005 hal.5
[4] H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004 hal.4-5
[5] Ibid, hal.4.
[6] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal 23
[7] Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009, hal 35
[8] Maria SW sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009,hal 18
[9] Kontributor malang, Yatimul Ainun,Warga dan TNI ngotot tempuh jalur hukum, KOMPAS.com, 6 Juli 2012
[10] Efendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1994, hal. 95
[11] Soedigdo Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970, hal. 51
[12]Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal.94-95 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar