Artikel
tentang Relasi Hukum dengan
Sosial
Budaya dan Ekonomi
Tugas Mata Kuliah Politik Hukum
Dosen Pengampu:
Rima Vien P H, SH, M.H.
Oleh :
DWI YUDIANTO
K 6410020
PROGAM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2013
A.
Relasi antara Politik terhadap Hukum
Dengan membeca sebuah buku dari mantan
hakim mahkamanh konstitusi(yang sekarang sudah pensiun) yaitu bapak Mahfud MD.
Yaitu tentang politik hukum di Indonesia, beliau berpendapat bahwa ada pengaruh
antara politik terhadap hukum yaitu menjelaskan sampai kita menemukan kata
intervensi politik atas hukum. Kita tahu bahwa intervensi adalah suatau
campurtangan dalam urusan, berarti politik tersebut ikut campurtangan atas
hukum yang berlaku di Indonesia ini. Padahal, apapun aspek di Indonesia ini
diatur pada hukum yang berlaku. Politik hukum dapat dirumuskan sebagai suatu
kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah, serta mencakup pula pengertian tentang bagaimana
politik berpengaruh pada hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang
ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
Jadi bisa dikatakan hukum itu berasal
dari suatu hasil perpolitikan dalam rangka untuk mencapai pada titik keadilan
rakyat itu sendiri. Seperti disampaikan sebelumnya yaitu hukum adalah sebagai
produk politik, yaitu sebagai hukum yang berlaku di Indonesia ini harus
disahkan melalui pemerintah tersebut. Jadi dapat dikatakan, bahwa hukum itu tidak
mungkin bisa adil(dalam arti tidak memihak siapun), tetapi hukum itu pasti ada
sangkut pautnya terhadap dunia perpolitikan saat hukum itu diberlakukan di
Indonesia. Seperti sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat
Undang-Undang sebagai produk hukum yang pada hakikatnya merupakan adegan
kontestasi agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat
terakomodasi di dalam suatu keputusan politik dan menjadi Undang-Undang
tersebut. Undang-Undang yang lahir dari kontestasi tersebut dengan mudah dapat
dipandang sebagai produk hukum dari adegan kontestasi politik itu. Itulah yang
dimaksud pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik.
Dari kalimat diatas, bila kita kaitkan
dengan suatu hukum yang berlaku sekarang ini, yaitu kebanyakan suatu kepentingan
itu yang dapat sangat cepat mengubah dari UU yang berlaku atau membuat UU baru
tentang suatu kepentingan politik tertentu, dan bahkan terkadang jika suatu
kepentingan tersebut dianggap biasa, atau tidak berarti atau mungkin ungkapan
paling kasar yaitu tidak ada uangnya, pastilah hukum tersebut tidak akan
mengalami suatu pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman di Indonesia.
Seperti contohnya jika seperti UU ketenagakerjaan, UU perburuhan, dll, pasti
akan cepat berubah jika tidak sesuai dengan kepentingan politik yang berlaku
pada saat itu, tetapi jika seperti suatu rancangan pembaharuan kitab
undang-undang hukum pidana sudah sejak lama ada tetapi tidak juga kunjung usai
atau terlaksana sebagai UU baru yang lebih baik tentunya, karena dirasa mungkin
RUU ini kurang berguna buat para elit politik di Indonesia ini.
B.
Relasi Hukum dengan non hukum.
Pengertian dari hukum sendiri yaitu
menurut kamus bahasa Indonesia “peraturan atau adat yang secara resmi dianggap
mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, undang-undang,
peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan
(kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang
tertentu, keputusan (pertimbangan) yang
ditetapkan oleh hakim (dala, pengadilan) vonis.
Dari pengertian tersebut, salah satunya
berisi untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. Berarti hukum di Indonesia
yang merupakan produk politik tersebut, juga mengatur hajat hidup orang banyak,
mempengaruhi keadaan masyarakat itu sendiri, yaitu seperti hukum sebagai suatu
kontrol sosial.
Dalam memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia, maka hukum
merupakan salah satu alat pengendali sosial. Alat lain masih ada sebab masih
saja diakui keberadaan pranata sosial lainnya (misalnya keyakinan, kesusilaan).
Kontrol sosial merupakan aspek normatif kehidupan sosial. Hal itu bahkan dapat
dinyatakan sebagai pemberi defenisi tingkah laku yang menyimpang dan
akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti berbagai larangan, tuntutan, dan
pemberian ganti rugi.
Hukum sebagai alat kontrol sosial
memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang dapat menetapkan tingkah laku
manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang
terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sangsi atau
tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang
harus diterima oleh pelakunya. Ini sekaligus berarti bahwa hukum mengarahkan
agar masyarakat berbuat secara benar menurut aturan sehingga ketentraman
terwujud.
Bisa juga dapat dipandang hukum itu
sebagai social engineering atau rekayasa sosial. Dapat dikatakan seperti ini
karena suatu produk hukum tersebut yaitu salah satu cara untuk dapat merekasa
masyarakat agar terciptanya suatu keingainan dari elit politik/pemerintahan
untuk merekayasa suatu kebaikan bersama. Misalnya tentang progam KB, UU
Lalulintas, UU IT, dan lain sebagainya.
Pendapat dari Rusli Effendi (1991: 81),
yang menegaskan bahwa "Suatu masyarakat di manapun di dunia ini, tidak ada
yang statis. Masyarakat manapun senantiasa mengalami perubahan, hanya saja ada
masyarakat yang perubahannya pesat dan ada pula yang lamban. Di dalam menyesuaikan
diri dengan perubahan itulah, fungsi hukum sebagai a tool of engineering,
sebagai perekayasa sosial, sebagai alat untuk merubah masyarakat ke suatu
tujuan yang diinginkan bersama, sangat berarti". Penegasan Rusli Effendy
tersebut di atas, menunjukkan bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial sangat
diperlukan dalam proses perubahan masyarakat yang di manapun senantiasa
terjadi, apalagi dalam kondisi kemajuan yang menuntut perlunya
perubahan-perubahan yang relatif cepat.
Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa sosial
ini, juga sering disebut sebagai a tool of engineering yang pada prinsipnya
merupakan fungsi hukum yang dapat diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu
dalam suatu masyarakat, baik dalam arti mengokohkan suatu kebiasaan menjadi
sesuatu yang lebih diyakini dan lebih ditaati, maupun dalam bentuk perubahan
lainnya. Perubahan lainnya dimaksud, antara lain menghilangkan suatu kebiasaan
yang memang sudah dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat, maupun dalam
membentuk kebiasaan baru yang dianggap lebih sesuai, atau dapat mengarahkan
masyarakat ke arah tertentu yang dianggap lebih baik dari sebelumnya.
Sejalan dengan ini, Soleman B. Taneko
mengutip pendapat Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa "Hukum sebagai sarana
rekayasa sosial, innovasi, sosial engineering, menurut Satjipto Rahardjo, tidak
saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang
terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan
yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak perlu
lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya".
Keadaan yang demikian itu berbeda sekali
dengan pandangan atau konsep hukum yang lain, seperti yang diajarkan oleh
aliran sejarah. Dalm hal ini Friedrich Karl Von Savigny,yang juga sering
disebut pendiri Aliran pendiri sejarah tersebut, mengatakan bahwa hukum itu
merupakan ekspresi dari kesadaran umum atau semangat dari rakyat (Volksgeist).
Savigny mempertahankan pendapat, bahwa hukum itu pertama-tama dilahirkan dari
keputusan hakim, tetapi bagaimanapun juga diciptakan oleh kekuatan-kekuatan
dari dalam yang bekerja secara diam-diam, dan tidak oleh kemauan sendiri dari
pembuat Undang-undang. Konsep tersebut memang didukung oleh kenyataan dalam
sejarah, yaitu pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana sifatnya. Pada
masyarakat –masyarakat seperti itu memang tidak dijumpai peranan dari pembuat
Undang-undang seperti pada masyarakat modern sekarang ini.
Peranan dari hukum kebiasaan adalah
lebih menonjol. Sorokin menggambarkan pandangan dari masyarakat modern tentang
hukum itu dengan cukup tajam, yaitu sebagai: “hukum buatan manusia, yang sering
hanya berupa instrumen untuk menundukan dan mengeksploitasi suatu golongan
lain”. Tujuannya adalah sepenunhya utilitarian yaitu keselamatan hidup manusia,
keamanan harta benda dan pemiliknya, keamanan dan ketertiban, kebahagiaan dan
kesejahteraan atau dari masyarakat keseluruhannya, atau dari golongan yang
berkuasa dalam masyarakat.
Norma-normanya bersifat relatif, bisa
dirubah dan tergantung pada keadaan. Dalam sistem hukum yang demikian itu,
tidak ada yang dianggap suci dan abadi. Berdasarkan pandangan Sorokin ini hukum
tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai sarana untuk mengatur ketertiban dan
keamanan serta kepastian hukum dalam masyarakat, tetapi lebih jauh bagaimana
upaya hukum itu berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang
maksimal. Adanya pandangan agar hukum dapat membentuk dan merubah suatu keadaan
dalam masyarakat sebenarnya telah lama dikembangkan oleh seorang sarjana yang bernama
Rescoe Pound dengan teori yang terkenal “law as a tool of social engineering” .
Di indonesia teori ini dikembangkan oleh Muhtar Kusuma Atmadja. Kata ”tool”
diartikannya sebagai sarana. Langkah yang diambil dalam sosial engineering
bersifat sistematis dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan
pemecahannya yaitu :
1.
mengenal problem
yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk didalamnya mengenali dengan seksama
masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut.
2.
Memahami
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal sosial
engineering itu hendak ditrerapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor
kehidupan majemuk, seperti : tradisional , modern dan perencanaan. Pada tahap
ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih.
3.
Membuat
hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
4.
Mengikuti
jalannnya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
Langkah-langkah ini dapat dijadikan arah
bagi menjalankan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial. bagaimana upaya
hukum dapat merombak pemikiran, kultur maupun sikap ataupun cara hidup
seseorang agar dapat bertindak dan berbuat sesuai tuntutan kehidupan. Bagaimana
hukum dapat merubah orang yang selama ini “ tertidur” , setelah ada hukum menjadi
“terjaga” . mereka yang selama ini menebangi hutan secara liar setelah adanya
hukum mereka tidak lagi berbuat demikian. Hukum sebagai alat rekayasa sosial
ini terlibat dalam fungsinya sebagai independen variabel dimana masyarakat
berfungsi sebagai dependent variabel. Masyarakatlah yang dipengaruhi hukum agar
ia terbentuk dalam suatu wujud terbangun masyarakat. Jika demikian halnya, maka
perlu ada perencanaan tentang bentuk masyarakat yang dikehendaki. Pencapaian
kepada bentuk masyarakat yang diinginkan itu diwujudkan melalui arah
kebijaksanaan yang ditetapkan melalui peraturan hukum.
1.
Relasi hukum
dengan faktor sosial dan budaya
Suatu hukum itu disahkan karena terdapat
suatu beberapa hal yang harus dirubah untuk menjadikan suatu kebaikan bersama
dalam masyarakat tersebut. Seperti halnya dengan pembuatan suatu UU untuk
mengubah kebiasaan masyarakat yang dinilai tidak etis, atau kurang bermanfaat
dan diubah dengan menggunakan aturan baru tersebut beruoa UU melaui rapat
parlemen dengan pemerintah.
Sebagai contohnya yaitu Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian
Minuman Beralkohol. Yaitu pengaturan tentang pelarangan penjualan minuman keras
di tempat umum kecuali di hotel, bar dan tempat hiburan lainnya. Dari contoh diatas
misalnya, suatu hubungan antara hukum dan kebudayaan sangatlah berkaitan,
karena dalam minuman keras ini digunakan oleh oknum-oknum masyarakat untuk
berkebudayaan misalnya seniman untuk melakukan kegiatan seninya tersebut
misalnya seperti daerah saya kabupaten Ponorogo yang pada waktu kecil di saat
ada pertunjukan reog ponorogo pasti ada yang namanya minuman keras walaupun
saya belum mengerti secara jelas karena saya juga masih anak-anak.
Pada tahun sebelum reformasi itu sangat
lekat sekali budaya minum arak di waktu pertunjukan kesenian reog ponorogo
tersebut, tetapi setelah itu, sekitar tahun 2005 banyak sekali razia-razia
miras yang tanpa izin tersebut membuat perbedaan sebagai seniman reog yang
tidak selalu meminum minuman keras sebelum melakukan aksinya tersebut. Dan pada
waktu saya sma, sejak ada pengeklaiman reog ponorogo oleh negara tetangga, reog
menjadi salah satu mata pelajaran wajib bagi murid SMA dan ekstra kulikuler
bagi murid SMP. Dengan begitu reog menjadi salah satu kegiatan seni (100% seni)
dan tanpa campur tangan minuman-minuman beralkohol untuk beraksi melakukan
kesenian tersebut.
Dengan begitu dari contoh di atas,
dapat dikatakan bahwa suatu hukum itu
mempunyai korelasi untuk mengubah suatu pandangan masyarakat/suatu kebiasaan
masyarakat dalam bidang seni kususnya dengan mengeluarkan suatu produk hukum
yang melarang pelegalan minuman-minuman keras di tempat umum dengan suatu
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal ini dapat mengubah kebiasaan masyarakat
untuk menjadi seniman sejati, mengubah pola kebudayaan masyarakat yang salah
atau bisa juga dikatakan untuk merekayasa kehidupan masyarakat agar lebih baik
dam menjadi baik. Tetapi dari banyak kepentingan, RUU tentang larangan minuman
keras belum disahkan menjadi UU, itu adalah pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Contoh berikutnya yaitu dari suatu
produk hukum berupa peraturan untuk memakai pakaian batik atau pakaian daerah
masing-masing di hari tertentu(anjuran). Yaitu dengan adanya suatu peraturan
tersebut, masyarakat di suatu daerah akan merasa memiliki kebudayaan yang telah
sejak lama ada di Indonesia ini. Seperti di wilayah solo ada anjuran pegawai
negeri di hari tententu memakai pakaian adat bawahan batik atasan jas putih.
Dengan begitu, suatu symbol dari kota tersebut akan terlihat, serta menimbulkan
kebiasaan yang baik demi mengingat kebudayaan bangsa sendiri dan di pakai
sebagai pakaian adat itu sendiri. Seperti di daerah ponorogo, biasanya sebelum
bulan muharam/suro, pegawai pemerintahan memakai pakaian penadon, yaitu pakaian
daerah ponorogo seperti yang digunakan penari warog tersebut. Hal ini
dimaksudkan akan menjadikan suatu rasa cinta produk dalam negeri serta selalu
menjalankan kebudayaan yang baik ini demi keberlangsungan suatu kebudayaan ini
melalui suatu pakaian daerah tersebut.
Suatu relasi hukum dengan kebudayaan
yaitu intinya hukum memiliki pengaruh yang sangat kuat tentang kebuyaan
masyarakat umum. Suatu produk hukum akan mempengaruhi suatu kebuayaan dalam
masyarkat dan dapat dikatakan hukum sebagai sosial kontrol, bisa juga hukum itu
sebagai rekayasa sosial.
2.
Relasi Hukum
dengan Ekonomi
Sub sistem budaya mempunyai kandungan
informasi yang paling tinggi karena kaya akan nilai-nilai. Sedangkan
sub-sistem ekonomi memiliki energi yang lebih tinggi karena lebih dekat dengan
lingkungan fisik . Ekonomi merupakan suatu wadah atau bentuk organisasi
masyarakat yang memiliki tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat dan meningkatan
kesejahteraan masyarakat. Maka tiap individu akan mencari keuntungan personal,
maka akan timbul kekacauan yang saling memburu kebutuhannya yang bertabrakan
antara satu individu dengan yang lainnya. Maka muncul lah rule of game, yaitu
aturan aturan dalam kegiatan ekonomi dan menghindari pergesekan antara
lingkungan usaha. Kehidupan ekonomi mensyaratkan adanya tertib social yang di
dalamnya terdapat kegiatan ekonomi. Disisi lain, ekonomi memiliki
pengaruh sendiri terhadap hukum. Pengaruh ini dalam bentuk
pertimbangan-pertimbangan untung-rugi yang berpengaruh pada kerja hukum. Karena
tidak semua orang patuh terhadap hukum atas dasar hukum memang harus di taati.
Masyarakat pun bias mentaati hukum karena tujuan-tujuan lain untuk memperoleh
keuntungan ekonomis. Sebaliknya, jika tidak melihat keuntungan eknomis, maka
akan rugi dan tidak mentaati hukum yang ada.
Saat ini, pembangunan ekonomi di
Indonesia tidak lah merata, di karenakan tidak di jiwai aspek kemanusiaan dan
aspek yang menyeluruh. Terbukti bahwa hasil postif dari perkembangan yang pesat
ini hanya berarti untuk para pelaku ekonomi beskala besar ata di sebut golongan
atas. Sedangkan golongan bawah, mereka justru dirugikan karena tidak dapat
menikmati hasil-hasil pembangunan ekonomi. Ada 2 model dalam strategi
pembangunan ekonomi, yaitu : a. model ekonomi berencana b. model
ekonomi pasar Model ekonomi berencana, menekankan tujuan dan
menyandarkan kekuatan pada hukum, maka akan di lihat sebagai suatu transformasi
dari kegiatan ekonomi. Negara sebagai pendukung utama dalam rencana. Di sini
hukum sebagai penterjemah tujuan ke bentuk norma-norma dan sebagai acuan yang
di cita-citakan. Sedangkan ekonomi pasar tidak digerakkan dari pusat kekuasaan,
akan tetaoi ke mekanisme pasar, seperti permintaan dan penawaran.di sini hukum
dipandang sebagai ramalan, pandangan, dan jaminan kepastian hukum demi
lancarnya suatu usaha. Dan juga sebagai media kreatif bagi pelaku usaha atau
sebagai jaminan pelindung agar merasa aman dalam bertransaksi.
Hubungan antara hukum dan ekonomi
sangatlah erat dan bersifat timbal balik. Kedua-duanya saling mempengaruhi
bekerjanya satu sama lain. Hukum sebagai pengontrol perkembangan ekonomi dengan
peraturannya, sedangkan ekonomi sebagai bekerjanya hukum itu sendiri.
Terakhir, peranan hukum dalam pembangunan ekonomi tergantung pada pola
perkembangan ekonomi yang di anut oleh Negara. Antara pembangunan berencana
dimana hukum berfungsi sebagai orientasi ekonomi, sedangkan pembangunan ekonomi
pasar hukum sebagai lembaga pendukung dan jaminan setiap aktivitas.
Dalam terori pembangunan
ekonomi di kenal beberapa aliran yaitu aliran Klasik yang di anut oleh (Adam
Smith, David Ricardo dan Thomas Robert Malthus) penganut paham perdagangan
bebas dan penganjur kebijaksanaan “pasar bebas” dalam ekonomi ini menentang
campur tangan pemerintah dalam industri dan perniagaan. Menurut para pakar di
atas Kekuatan yang tak terlihat yaitu pasar persaingan sempurna yang merupakan
mekanisme menuju keseimbangan secara otomatis, cenderung untuk memaksimumkan
kesejahteraan nasional.
Selanjutnya menurut
teori Schumpeter, sistim kapitalisme adalah sistim yang paling baik
untuk menciptakan pembangunan ekonomi. Namun dalam jangka panjang sistem
kapitalisme akan mengalami stagnasi.
Dari pendapat di atas, relasi suatu
hukum terhadap ekonomi khususnya untuk pertumbuhan ekonomi ssangatlah penting,
produk-produk hukum yang disahkan oleh pemerintah haruslah mempunyai tujuan
akhir untuk mensejahterakan masyarakat dengan membuat perekonomian di Indonesia
ini berkembang dan tumbuh menjadi suatu negara yang besar dan mandiri. Seperti
UU ketenagakerjaan, UU lainnya mengenai ekonomi, diharapkan dibuat, disahkan
serta diedarkan untuk bisa menumbuhkan perekonomian Indonesia.
Daftar Pustaka
Choiruddin, Sosiologi
Hukum, Sinar Grafika; Jakarta 1991.
Moh. Mahfud MD, Politik
Hukum Di Indonesia, cetakan ke 5 PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,2012
Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1984 .
Satjipto Rahardjo,
Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.
Soekanto Soejono dan Heri Tjandra, J.S. Roucek, Pengendalian Sosial (seri pengenalan
Sosiologi), Rajawali Press, Jakarta. 1987.
RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, www.hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar