Sengketa
Tanah dalam Masyarakat
Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Ilmu Hukum
Dosen Pengampu:
Dsr.
Hassan Suryono SH., MH., M.Pd.
Oleh :
DWI YUDIANTO
K 6410020
PROGAM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Indonesia adalah negara hukum. Semua
yang menyangkut kesejahteraan umum sudah diatur dalam undang-undang dalam
bentuk peraturan-peraturan tertulis. Dengan begitu sebuah kepastian hukum untuk seseorang sejahtera
hakikatnya telah terjamin oleh konstitusi yang ada di Indonesia.
Hukum di Indonesia tidak bisa berdiri
secara netral, pasti ada beberapa kepentingan-kepentingan yang menyangkut
didalamnya seperti kepentingan negara. Dengan begitu maka politik untuk hukum
bisa dikatakan sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita
bangsa dan tujuan negara.[1]
Jadi perlunya hukum untuk negara kita
yaitu untuk mengatur supaya bisa mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara,
untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan suatu kejelasan atau kepastian hukum
di dalamnya. Seseorang yang sudah memliki kepastian hukum pasti akan lebih
mudah dalam melakukan lalulintas hukum atau kegiatan-kegiatan hukum, misalnya
dalam kepemilikan tanah.
Tanah adalah suatu aset negara yang
sangat banyak sekali, sumber penghasilan negara juga sebagian besar dari pajak
dan salah satu pajak yaitu pajak dari tanah, baik itu pajak bangunan maupun
pajak-pajak yang lain misalnya sewa, hak pakai, daln lain sebagainya.
Tanah lama kelamaan pasti akan habis
dengan setiap tanah bermilik atau berpenghuni karena semakin banyaknya penduduk
Indonesia. Bisa jadi lama-kelamaan tanah kita habis dan semua untuk
dimanfaatkan sudah tidak ada lahan yang kosong atau terlantar.
Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan
hukum atau kaedah hukum yaitu peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat
mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertibdalam masyarakat.[2] Hukum tersebut haruslah
berupa hukum yang jelas demi memberi kepastian hukum untuk pemilik-pemilih sah
dari tanah-tanah tertentu. Dengan begitu merupakan salah satu cara untuk
meminimalisasi konflik-konflik dari masyarakat maupun dari pemerintah yang dilator
belakangi oleh sengketa tanah.
B. Rumusan
Masalah
Di
dalam makalah
ini, terdapat beberapa hal yang akan dibahas untuk kelengkapan suatu tulisan
yang dibuat oleh penulis.
1. Pengertian
dari Hukum Agraria,
2. Pengertian dari sengketa tanah,
3. Contoh
dalam masyarakat secara nyata,
C. Tujuan
Penulisan Makalah
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah demi mendapatkan suatu ilmu yang berharga
untuk pengalaman dari contoh kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Dengan
makalah ini lah penulis bisa lebih mengerti akan suatu hal yang terjadi dalam
masyarakat sekarang ini yaitu mengenai sengketa tanah dengan pihak pemerintah
atau lembaga negara. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi, maupun langkah hukum
yang dilakukan akan dibahas di makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Hukum Agraria
Istilah
tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasa latin agre berarti
tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau
tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah,[3]
dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha
pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi,
air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya.
Hukum
agraria secara sempit ialah bidang hukum yang mengatur yang mengatur mengenai
hak-hak penguasaan tanah.[4]
Pengertian
hukum agraria secara luas adalah sekelompok bidang hukum yang masing-masing
mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang
meliputi;
·
Hukum tanah, yaitu bidang hukum yang
mengatur penguasaan atas tanah(permukaan bumi),
·
Hukum air (hukum pengairan), yaitu
bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas air,
·
Hukum pertambangan, yaitu bidang hukum
yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian,
·
Hukum kehutanan, yaitu bidang hukum yang
mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan,
·
Hukum perikanan, yaitu bidang hukum yang
mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air,
·
Hukum penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.[5]
- Pengertian
sengketa tanah
Sengketa pertanahan adalah proses
interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing
memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda
lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang
berada dibatas tanah yang bersangkutan.[6]
Secara umum ada
beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah antara lain :
1.
Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai
pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum
ada haknya.
2.
Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang
digunakan sebagai dasar pemberian hak.
3.
Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang atau tidak benar.
4.
Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social.
Berdasarkan penjelasan
diatas, maka konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Namun dimensi
konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada masa kolonial.
Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :
1.
Pemilikan/Penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;
2.
Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah
nonpertanian;
3.
Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4.
Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah
(hak ulayat);
5.
Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah.[7]
Mengenai konflik
pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Secara
makro sumber konflik besifat struktural misalnya beragam kesenjangan. Secara
mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya perbedaan/benturan
nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data atau gambaran
obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan
ekonomi yang terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah.
Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhana
pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah adalah bermula dari
pengaduan satu pihak (orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan
tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah ataupun prioritas
kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Menurut Maria S.W.
Sumardjono secara garis besar peta permasalahan tanah dikelompokkan yaitu :
1.
Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan,
kehutanan, proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
2.
Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
3.
Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
4.
Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
5.
Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.[8]
Melihat penjelasan di
atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada
pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang disengketakan oleh
karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tanah tersebut
tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan
beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan.
Tanah
mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat
Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga
memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti
Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA
juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah
(Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Tanah
tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat bertani, lalu lintas,
perjajian, dan pada akhirnya tempat manusia dikubur. Akan tetapi, selama kurun
waktu 52 tahun usia Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun
1960, masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya. Konflik pertanahan
ini ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju
penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti untuk
pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun pariwisata juga
terus bertambah, sedangkan ketersediaan tanah itu tidak bertambah atau lebih
tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan konflik-konflik pertanahan
secara horizontal maupun vertikal sering terjadi.
Sebagaimana
yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang
pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan
dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama
pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi,
dan ketidaksinkronisasian. Maka dari itu, untuk dapat memenuhi berbagai
kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah yang bersifat tetap, maka
pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dari penggunaan tanah dengan
berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan berbagai bentuk peraturan
pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk kepentingan perorangan dan
Badan Hukum atas tanah-tanah Negara dan/atau atas tanah-tanah hak.
Namun
dalam
kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah pokok hingga kini belum
mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah. Permasalahan tanah yang
dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin
kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di
bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas.
Munculnya
berbagai konflik atau sengketa pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari
konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan
ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain, atau bahkan tidak jarang
berbau politis. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih. Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya merupakan payung hukum bagi
kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara
substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan
perundangan sektoral. Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya dapat
memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga
secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif.
Sebagai
contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa tanah itu misalnya sengketa
tanah oleh lembaga negara dengan masyarakat, misalnya antara TNI dan masyarakat.
Dengan memiliki bekal bahwa TNI adalah ijin latihan dan menganggap tanah itu
tanah negara dan mereka juga menjalankan tugas negara maka mereka sangat kuat
untuk mengambil tanah itu tetapi dari masyarakat juga dikuatkan dari faktor
sejarah yang dari turun-temurun keluarganya sudah memakai tanah tersebut.
- Contoh
dalam masyarakat tentang sengketa tanah yang terjadi
Yang
pertaman yaitu konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam
13 tahun terakhir sejak reformasi bergulir, cukup banyak yang melibatkan warga
dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah antara warga dan anggota TNI
tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi
Angkatan Darat KODAM V Brawijaya terhadap lahan di Desa Harjokuncaran, Kecamatan
Sumber Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di media sampai
saat ini belum mencapai titik penyelesaian. Warga mengklaim lahan tersebut
milik warga setempat, sementara TNI menyatakan milik negara. Akibat
peristiwa tersebut, sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5 personel TNI
AD mengalami luka di kepala.
Sengketa
warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu
juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa tersebut
awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu Belanda
hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan seluas sekitar 1.118
hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan masuk wilayah
Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi
desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya
dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan
terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni
warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan Menteri
Pertanian 2 Juni 1973, yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka.
Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah
membayar uang ganti rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut. akan
tetapi warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam
cacat hukum. Menurut Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan
tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember
1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyekland
reform dengan verponding (tanda hak milik zaman Belanda) yang
seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa ini memiliki
empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
Sementara
itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Departemen Pertahanan yang
bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan negara dalam melaksanakan
tugasnya TNI memerlukan sumber daya alam. Yang dimaksud sumber daya alam dalam
hal ini adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang
dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Salah satu sumber daya
alam yang penting adalah tanah. Tanah merupakan unsur yang digunakan untuk
pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi perkantoran, tempat latihan, dan
tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan negara.
Sebagaimana
tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan
negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai komponen utama, komponen
cadangan dan komponen pendukung dalam pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan
negara adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan
tugas-tugas pertahanan. Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya nasional
yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan
memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung adalah
sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan
kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber daya nasional
adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
Sementara
itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum optimalnya pelaksanaan
administrasi pertanahan di Indonesia serta ketidakpahaman pihak masyarakat dan
pihak TNI mengenai sumber hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya
tentang hak atas tanah. Pihak masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan
dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang dikenal dengan istilah UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai salah satu hukum pertanahan nasional.
Pada
dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan satu sumber
peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada pelaksanaannya masih
terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang mengakibatkan
munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Untuk
menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan masyarakat umum ini,
maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI terlebih dahulu dalam
hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas tanah TNI. Disamping
itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah TNI tersebut maka TNI
memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang digunakannya.[9]
Contoh
sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu antara TNI
Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dengan
bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah seluas 30,2 hektar yang berada di
sekitar tanah milik Lanud Iskandar Pangkalanbun.
Dengan
sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati ujang diangkat dan
setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan dibangun sebuah kompleks
pertokoan, tetapi ternyata sudah ada yang memiliki lebih dahulu yaitu TNI
dengan akta tanah tahun 1980an serta terdapat beberapa patok tanah yang masih
menancap milik Lanud. Karena keadaan lokasi yang semi hutan, di Kalimantan itu
kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam liar yang tidak
ada yang mengurusnya.
Karena
pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa menjadi seperti tanah
terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan mendapat nomor
pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat secara langsung di lokasi yang
di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah ini yaitu tentang
pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak serta merta mengecek
lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan kelalaian
tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari tanah tersebut.
Tujuan
pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas
tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka fihak-fihak yang
bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan hukum daripada
tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang
empunya dan beban-beban apa yang ada diatas tanahnya.[10]
Dengan
begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar yaitu melalui notaris
didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat tetapi pegawai pembuat
akta tanah tersebut kurang cermat dalam pembuatan serta tidak teliti dalam
mengecek apakah tanah itu sudah ada yang punya atau belum, begitu juga pihak
lanud yang tidak serta merta dengan merawat tanah tersebut dan alasannya yaitu
mereka memiliki tanah yang sangat luas dan belum mampu untuk selalu merawat
tanahnya. Tetapi sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi para prajurit
TNI AU yang bertugas.
Dengan
alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan digunakan sebagai lahan
untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan tugas negara
sudah ada kewajiban untuk menggunakannya karena merupakan amanah dari negara
untuk memperkuat kesatuan wilayah Indonesia. Akirnya pihak dari TNI menggugat
di pengadilan untuk memperkarakan secara hukum sengketa tanah ini.
Hak
atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh TNI adalah
hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak menggunakan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik
orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak
pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran
atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai
syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka
waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
·
Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai
oleh negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin
pejabat yang berwenang.
·
Hak pakai atas tanah hak milik hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain,jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian
yang bersangkutan.
·
TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah
Departemen Pertahanan, hak atas tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan
TNI adalah hak pakai.
Hak
pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah ditentukan yang
dibebankan atas benda orang lain, untuk “dengan memelihara bentuk dan sifatnya
serta selaras dengan maksudnya“ memakai sendiri benda itu dan mengambil
hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat keperluan sendiri.[11]
Pembuat
Undang-undang Pokok Agraria member kesempatan bagi setiap orang yang memegang
Hak Milik Adat di seluruh Indonesia untuk mendaftarkan haknya dan akan
memperoleh sertifikat Hak Milik melalui prosedur konversi Hak Adat(peraturan
Menteri Pertanian dan Agraria).[12]
Jadi
walaupun itu berdasarkan tanah adat maupun turun temurun dari nenek moyang,
tetap harus berdasarkan hukum yang berlaku, karena Indonesia ini adalah negara
hukum dan lebih kuat juga bila ada bukti hukum yang pasti seperti surat tanah
atau akta tanah tersebut. Sangatlah penting tentang surat tanah yang salah satu
manfaatnya yaitu untuk kepastian hukum.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap permasalahan pertanahan kita
harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah tersebut termasuk hak atas tanah
apa, serta siapa subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena memberikan
konsekuensi hukum yang berbeda-beda pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini
tentunya berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam
sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa TNI sebagai
lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Namun
sebagai Warga Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik atas
tanah. Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas
tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah oleh TNI. Kemudian penentuan
di setiap keputusan Pengadilan Negeri dalam setiap sengeketa tanah antara Sipil
dengan TNI, sudah seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi,
apabila sengketa tersebut yang melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1
Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa
tanah merupakan komponen utama dalam pertahanan negara. Pasal ini hendaknya
menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan hakim. Hal ini bertujuan agar isi
amar putusan hakim tidak merugikan para pihak yang bersengketa.
Tanah
milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga dengan kasus diatas
yang merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi hukum itu milik negara dan
haruslah kembali pada negara dengan berlandaskan untuk kepentingan umum dan
untuk kepentingan negara.
B. Saran
Dari
kasus-kasus yang telah di kemukakan di atas, maka dapat disarankan bahwa semua
hukum yang ada pada negara ini, telah dimasuki kepentingan negara dalam rangka
mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. Jadi hukum tersebut bisa dikatakan
sebagai salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mencapai cita-cita
bangsa dan tujuan negara Indonesia yang sudah tertera pada Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945. Salah satunya yaitu mensejahterakan rakyat.
Menjadi
warga negara yang baik harus tahu akan hukum serta tidak hanya tahu, juga
haruslah melaksanakan hukum tersebut. Untuk menjadi warga negara Indonesia yang
baik (good citizen), maka harus taat dan
mengerti akan hukum. Hal itulah yang ditujukan untuk penulisan makalah ini
tentang penanaman kesadaran hukum haruslah ditingkatkan di Indonesia agar tidak
terjadi konflik-konflik dari yang ditimbulkan oleh penyelewengan hukum, atau
pelanggaran hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Þ
Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya,
Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009
Þ
H. Ali, Achmad
C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia)
jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004
Þ
Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan,
2005
Þ
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Þ
Efendi,
Perangin, Hukum Agraria di Indonesia,
Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Þ
Mahfud ,Moh. MD,
Politik Hukum di Indonesia, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2012
Þ
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Þ
Maria, SW Sumardjono,
Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2009
Þ
Soedigdo,
Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia,
Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Þ
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah,
Jakarta: Prenada Media, 2005
Koran dan Web:
Þ
Kontributor
malang, Yatimul Ainun, Warga dan TNI
ngotot tempuh jalur hukum, KOMPAS.com, 6 Juli 2012
[1]
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012, hal. 2
[2]
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka,1986 hal. 34
[3]
Boedi Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan,2005 hal.5
[4]
H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2004 hal.4-5
[5]
Ibid, hal.4.
[6]
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media,
2005, hal 23
[7]
Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika, 2009, hal 35
[8]
Maria SW sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2009,hal 18
[9]
Kontributor malang, Yatimul Ainun,Warga dan TNI ngotot tempuh jalur hukum,
KOMPAS.com, 6 Juli 2012
[10]
Efendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
1994, hal. 95
[11]
Soedigdo Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara,
1970, hal. 51
[12]Maria
Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000, hal.94-95